Dinamika perubahan perilaku peserta didik begitu cepat
seiring dengan kehadiran IT (baca: Informasi teknologi). IT menawarkan beragam
kemudahan dalam mengakses informasi dan memanjakan penggunanya. Namun
keberadaan IT oleh peserta didik tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Untuk
itu sebagai pendidik haruslah merespon dinamika tersebut.
Sebelum
kita panjang lebar membahas perilaku peserta didik, mari kita ingat kembali
paradigma penting dalam perubahan kurikulum 1994 menjadi kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) yaitu terletak pada reorientasi tujuan pembelajaran dari content
oriented menjadi competence oriented, dan reorientasi proses
pembelajaran dari proses penyampaian informasi menjadi proses melatihkan atau
membangun kompetensi. Pembelajaran bukanlah proses transformasi informasi,
melainkan sebuah proses melatihkan kompetensi kepada peserta didik kita. Hasil
dari proses pembelajaran bukanlah “siswa tahu banyak” tetapi “siswa mampu
berbuat banyak”. Sedangkan paradigma penting perubahan KBK menjadi KTSP adalah
pemberian otonomi yang lebih luas kepada sekolah dalam menyusun dan
mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakter dan potensi sekolah tersebut.
Pada KBK indikator kompetensi ditentukan oleh kurikulum, sedangkan pada KTSP
indikator kompetensi disusun dan dikembangkan oleh guru sebagai pengampu mata
pelajaran.
Kompetensi
didefinisikan sebagai pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik) dan
sikap (afektif) yang direfleksikan dalam bentuk kebiasaan berpikir dan berbuat.
Seorang peserta didik dikatakan kompeten pada bidang tertentu apabila memiliki
pemahaman kritis tentang bidang itu, memiliki keterampilan untuk
mengimplementasikan bidang tersebut, dan terbentuknya sikap yang direfleksikan
dalam bentuk perilaku sehari-harinya. Sebagai contoh, pembelajaran Pendidikan Agama
Islam (PAI) belum dikatakan berbasis kompetensi apabila proses yang terjadi
hanya sebagai proses penyampaian teori-teori tentang agama Islam. Proses
pembelajaran PAI dapat dikatakan berbasis kompetensi apabila mampu membangun
perilaku keberagamaan Islam pada peserta didiknya. Pertanyaannya adalah, apakah
proses pembelajaran kita sudah mampu membangun kompetensi?
Kalau
kompetensi dimaknai sebagai kognitif, afektif dan psikomotorik yang
direfleksikan dalam bentuk perilaku berpikir dan berbuat peserta didik, maka
alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu proses pembelajaran
tidak cukup hanya diukur dengan tes tulis. Tes tulis (pencil and paper test)
hanya mengukur perubahan perilaku berpikir, belum mampu mengukur perubahan
perilaku berbuat peserta didik. Bentuk penilaian seperti penilaian kinerja
(performance assessment) merupakan bentuk penilaian alternatif untuk mengukur refleksi kompetensi siswa dalam bentuk perilaku berbuat. Perilaku berbuat dapat dipandang sebagai refleksi kognitif maupun sikap.
(performance assessment) merupakan bentuk penilaian alternatif untuk mengukur refleksi kompetensi siswa dalam bentuk perilaku berbuat. Perilaku berbuat dapat dipandang sebagai refleksi kognitif maupun sikap.
Pada
tahun ajaran baru kedepan, nanti ada perubahan kurikulum baru, yaitu kurikulum
2013. Lalu pertanyaannya: apakah pada kurikulum 2013 nanti bisa memperbaiki system
pendidikan kita? Kita lihat saja nanti bagaimana dinamika perubahan kurikulum
pendidikan kita, serta bagaimana perkembangan pendidikan kita, maju atau malah
terjadi stagnasi pendidikan.
Selama
ini kita masih dominan menerapkan penilaian yang mengukur perubahan perilaku
kognitif yang diasosiasikan dengan angka-angka saja sebagai representasi
kemampuan menjawab soal tes, bukan representasi perilaku berbuat. Ada siswa
yang nilai agamanya mendapat skor “100” tetapi perilaku keberagamaanya tidak
sesempurna angka “100”. Lantas, mengapa kita sebagai guru masih mempertahankan
model penilaian seperti ini? Bisa jadi ini dikarenakan sistem pendidikan kita
yang masih menuntut model penilaian seperti ini.
Lalu
apa yang akan terjadi pada peserta didik kita jika guru hanya menerapkan model
penilaian yang mengukur perubahan perilaku kognitif saja? Jawabannya sudah kita
saksikan bersama, bahwa peserta didik kita saat ini telah mengalami degradasi
moral. Sering kita jumpai bersama, siswa kita kurang memiliki karakter bangsa.
Sikap disiplin, jujur, teliti, cermat, santun dan sebagainya tidak tampak pada
diri peserta didik kita.
Mengingat
akutnya degradasi moral peserta didik kita saat ini, maka perlu dicari solusi
bersama. Lembaga pendidikan tercinta kita ini (baca: SMP Negeri 1 Sekar) harus
berupaya dan berikhtiar dalam pembinaan yang mensinergikan teori/ilmu dan
praktik/amal. Dengan pembinaan ini diharapkan peserta didik tidak hanya belajar
ilmu-ilmu umum dan agama saja, namun juga disiplin keras untuk mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Kata kuncinya: disiplin sebagai modal utamanya,
kontinyuitas/istikhomah sebagai pelumasnya. Mengutip dari pendapat el-Fath
Rochman, metode yang digunakan untuk mendisiplinkan peserta didik yaitu
berjamaah, berdzikir dan belajar (ngaji) secara intensive yang pada akhirnya
akan melahirkan satu proses latihan pembiasaan diri. Al-insaanu ibnu awaaidihi
( manusia cenderung melakukan apa yang menjadi kebiasaanya). Disinilah perilaku
terbentuk karena pembiasaan yang terus menerus (istikomah). Dus, ini sebagai
upaya mensinergikan trias santri : iman-ilmu-amal, atau lebih spesifik tercipta
manusia dzikir –fikir-ikhtiar. Manifestasinya mencetak peserta didik yang mampu
berdzikir kuat, berpikir cepat dan bertindak tepat. Tiga hal tersebut menjadi
pedoman sekaligus tuntunan yang merupakan cara hidup (way of live) peserta didik
yang pada akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit) diluar tembok sekolah.
Finalnya tercapai insan kamil dunia akhirat.
Wallahu a’lambishowab.
Penulis
adalah staf pengajar SMP Negeri 1 Sekar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar